Seperti pemuda kampung pada umumnya, aku hanya sedang mencoba menyesuaikan diri pada setiap-setiap pendapat masyarakat yang sedang berkembang seputar pendidikan. Setelah lewat kontemplasi panjang seputar pentingnya pendidikan, apakah pendidikan sanggup menjadi kendaraan yang laju untuk via setiap-setiap keadaan sulit yang akan kuhadapi kedepannya? Apakah pendidikan tinggi sanggup menjamin kesejahteraanku slot kakek tua dan keluargaku kedepannya? Ini sebetulnya pertanyaan klasik bagi semua orang sebelum melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi.

Tetapi ternyata ungkapan seperti “kita tidak akan mengetahui rasanya kopi sebelum mencobanya dengan lidah kita sendiri” atau ungkapan apa saja yang merujuk pada pengalaman empiris manusia, ada benarnya juga. Maka kuceburkanlah diriku dalam indahnya ibu kota provinsi dengan tujuan melanjutkan pendidikan Strata 1.

Problem perjalanan pendidikanku malahan dimulai. Dunia kampus yang awalnya tebersit di pikirkanku yaahh seperti apa yang ditampilkan dalam FTV. Kuliah, pacaran, lulus, kemudian kerja dan akan berakhir seperti apa? Terserah penulis skenario lahhh hahaha namanya juga FTV.

Kalaupun hidupmu berakhir susah yaah mungkin akan mulai muncul gugatan kepada Maha di pikiranmu. “Saya ini belajar susah payah, sudah usaha separuh mati tapi lohh kok hidup gini-gini aja Tuhaaannn?,” Gerutu dalam hati si pemeran utama. Hahaha.

Lalu apa yang salah?

Fenomena seperti ini banyak kujumpai, mungkin kalian juga, malahan mungkin sedang slot garansi 100 kalian alami. Katanya pendidikan sanggup menjamin masa depan rakyat, tapi kok sarjananya banyak yang melarat haduuhhhh mana sudah bayar mahal lagi, tapi deritanya tidak ada habisnya.

Tapi sedih tapi juga lucu, dari beberapa kejadian yang kutemui karena sarjana-sarjana kita mulai banyak yang mengerjakan usaha kecil-kecilan. Oke baik, saya masih terima alasan mengerjakan bisnis demi bertahan hidup (ini kisah sedihnya). Lucunya dimana? Disiplin ilmu yang mereka pelajari di kampus sebelumnya bertolak belakang dengan apa yang mereka jalankan setelah lulus. Ini menjadi lucu karena belajarnya kita selama beberapa tahun di kampus jadi terasa sia-sia. (Terus asistensi, presentasi, begadang kerja tugas dan laporan selama ini untuk apaaaaaa?) Katakan lah sarjana teknik yang berakhir dengan jualan kopi. Atau sarjana farmasi yg berakhir dengan bisnis online dan jutaan sarjana yang patut berkhianat dari disiplin ilmunya. “Kok tidak ikut serta daftar CPNS?,” (Tanya tetanggamu! Yahhhh anjing menggonggong kafilah berlalu hahaha). Ayolah, kuanggap ini sebagai wujud pemerkosaan terhadap disiplin ilmu. Memangnya lapangan pekerjaan yang cocok dengan keahlian sarjana kita sudah tidak ada? Ada dong!

Tidak persyaratannya tidak kalah ribetnya dengan polemik UU Cipta Kerja (santai lah udah ketuk palu kok hahah) sarjana kita lagi-lagi dituntut untuk menyelesaikan level keprofesian (bayar lagi dong!) “Loh bukannya setelah lulus Strata 1 itu sudah menjamin untuk mendapatkan pekerjaan?,” Tapi semudah itu “sayaaaang”.

Minimal anda punya serifikat K3 untuk masuk kedalam perusahaan, ikut serta pelatihan seminggu sampai dua minggu yang biayanya hmmmm sepertinya sedang mempermainkan perekonomian keluarga ku. (sudah sarjana masiiiiiiih saja patut bayar, tapi kali ini beda bandar saja hahah) Duhhh gokil pak! Itupun belum manjadi sesuatu yang totaliter untuk bisa diterima dalam dunia kerja. Wahhh rasa-rasanya kok ada yang janggal yah?!

Sebodoh-bodohnya aku, sempat terlintas di pikiranku, pendidikan slot bet kecil keprofesian maupun pelatihan K3 kok tidak dimasukkan saja dalam kurikulum pendidikan S1? Biar mahasiswa-mahasiswi kita setelah lulus sudah siap bersaing dalam dunia kerja, tidak ngabisin usia dan juga biaya. Tidak ternyata semua itu tak semudah yang kupikirkan dan tak segampang yang kubayangkan. (Hidup… Hidup… Anda kok jahat sekali?!)

Lalu bagaimana nasibku? Nasibmu? Nasib kita semua kedepannya setelah menjadi sarjana?

Pikir-pikir mko dlu sendiri deh 😀